Dunia tanpa Islam di Era Sekarang
Assalamualaikum guys, kali ini saya ingin menceritakan tentang sejarah
ketika Kristen terpecah sebelum adanya Islam, cerita ini dipaparkan oleh Fuller
karena adanya pertanyaan oleh sejarawan Kanada bagaimana dunia tanpa Islam,
dari cerita ini kamu bisa membayangkan bagaimana jika tidak ada Islam saat ini,
bagaimana jika Allah tidak memberikan wahyu kepada Rasulullah, mungkin tidak akan
damai seperti sekarang yaa.. yuk simak ceritanya, jangan sampai ketinggalan
sepotong cerita sejarah ini yaa..(sumber:eramuslim)
Dalam bukunya yang cukup berani, sejarawan asal Kanada, Graham E Fuller,
membuat pengadaian yang menarik. Ia bertanya, “Bagaimana sebuah dunia tanpa
Islam?”
Untuk membangun alternatif jawabannya,
Fuller menyinggung generalisasi stigma yang kerap dilontarkan Barat kepada
Timur atau Islam. Ia berusaha menunjukkan, banyak faktor pemicu pertentangan
antara Barat dan Timur yang sudah ada bahkan sebelum Islam datang.
Pada awalnya, Fuller memaparkan fakta
historis, Eropa mengalami keterpecahan antara Kristianitas Barat (Katolik Roma)
dan Kristianitas Ortodoks. Yang satu berpusat di Roma, sedangkan yang lain di
Konstatinopel (Instanbul). Sejak ditaklukkan Islam, pusat Kristen Ortodoks
pindah ke Moskow, yang disebut juga sebagai Roma Baru.
Perbedaan lainnya adalah, Konstatinopel merupakan wilayah budaya Yunani,
sedangkan Roma merupakan Latin, berbedan dengan eksklusivitas bahasa Latin,
bahasa Yunani justri mempersatukan kawasan Mediterania. Pada abad keempat,
Kekaisaran Romawi/Byzantium menjadikan Kristen sebagai agama Negara. Hal ini
justru menjadikan Negara mampu merasuki perumusan dogma-dogma agama tersebut. Konsili
Nicea pada 325 adalah buktinya. Sejak saat itu, muncul pula aliran-aliran
terkait, misalnya, ketuhanan Yesus atau Maria.
Pada 476, kekaisaran yang berpusat di
Roma berakhir. Paus yang bertempat di Roma pun terkucil. Bagi Konstatinopel,
paus itu tak lebih daripada “Uskup Agung Roma” sehingga tak berwenang mengklaim
universalitas Kristen. Pada 1054, antara Roma dan Konstatinopel saling
mengucilkan. Endapan perasaan-perasaan ini merupakan bahan bakar untuk konflik
ratusan tahun kedepan. Bahkan, ketika pada akhirnya Konstatinopel ditaklukkan
Sultan Mahmed pada 1453, orang-orang Kristen Ortodoks merasa “beruntung” sebab
dikalahkan kaum Muslim Turki, bukan orang Latin yang Kristen. Sebab, mereka
tahu, gereja-gereja Ortodoks akan tetap hidup dibawah pemerintahan Muslim.
Lebih jauh, menurut Fuller, sesungguhnya Perang Salib yagn berlangsung
sejak abad ke-11 sampai ke-13 tetap akan terjadi sekalipun Islam tidak pernah ada.
Perang yang dipicu pidato Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont 1095 ini
terjadi selama beberapa tahap. Namun, dalam pidato tersebut sebenarnya tidak
ada penyebutan satu kali pun “Islam” atau “Muslim”, melainkan hanya “orang
kafir”. Sebutan yang sesungguhnya tidak jelas batas-batas referensinya karena
bisa merujuk pada siapapun yang dianggap berbeda.
Puncaknya, pada Perang Salib gelombang
keempat yakni 1204 M, balatentara Salib justru menyerbu Konstatinopel dan
membunuh warga kota itu secara kejam, meskipun mereka toh Kristen seperti
mereka. Kejadian ini seolah menegaskan ujaran Paus Innocentius III, bahwa
harapan jangka panjang Perang Salib sebenarnya adalah mengembalikan kesatuan
Gereja antara Timur dan Barat. Penjarahan atas Konstatinopel tentu saja
memupuskan harapan ini.
Senarai peristiwa-peristiwa historis “benturan“ antara Barat dan Timur
itu dapat saja diteruskan. Namun, akar daripadanya hanyalah embusan sentiment-sentimen
yang menegaskan batas “kami-kalian”. Padahal, persoalan identitas memerlukan
kajian yang lebih mendalam dan jernih sehingga bertujuan mempererat hubungan
antarperadaban, bukan malah saling membenturkannya.
Agaknya, dunia memerlukan lebih banyak
ilmuan yang mengambil posisi seperti Fuller. Ilmuan-ilmuan demikian dapat
muncul dari Barat maupun Timur. Mereka yang menilai bahwa polarisasi demikian
tidak perlu dipandang kaku, melainkan cair. Terlebih lagi, dalam pesatnya
perkembangan teknologi informasi mutakhir. Prasangka dan pengetahuan akan
identitas the others bercampur-baur dalam banjir informasi. Merka begitu mudah
diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Komentar
Posting Komentar